Teruntuk kamu, Perempuan Si Seribu Muka.

 


Jahat ya? Sayangnya, beginilah kenyataannya..

Kalau kata mba Dee Lestari, perjalanan hidup adalah sinema, (menurutku) maka perempuanlah yang berkontribusi banyak dalam setiap kisahnya.  

Sejujurnya sedikit bingung harus menulis dengan judul apa. Sebab, jika berbicara tentang perempuan dan mimpinya, seperti sedang menguliti diri sendiri. Bercermin ke dalam, melekat, dan saling terhubung. 

Aku hampir lupa. Aku memiliki perempuan tangguh di hari - hariku. Panggil ia, Ibu. Beruntung karena dibesarkan oleh kesederhanaan sosoknya. Perempuan biasa yang hari - harinya tak pernah akrab dengan serum pengawet muda, badannya menyatu dengan daster, namun penuh hangat dan kasih yang siaga memeluk suka duka kami sekeluarga. Baru 30 tahun aku bersamanya, tapi sejauh itu pula, nyatanya aku tidak benar - benar mengenalnya. 

Jika ada nominasi seniman wanita dengan akting terbaik sepanjang masa, maka aku yakin beliaulah pemenangnya. Bayangkan saja, bagaimana bisa hal duka yang menimpanya, dengan mudah ia pendam dan tak ditunjukkan emosinya sekalipun ke anak - anaknya? Sementara hanya senyum saja saat ditanya bagaimana perasaannya? perempuan gila mana yang mendatangi keluarga selingkuhan suaminya dengan baik - baik, meminta maaf atas kelakuannya, bahkan meminta anak mereka untuk ia rawat dengan tangannya sendiri? Apakah semudah itu melebarkan ruang di dada? Apa segampang itu memeluk luka - luka?

“Apa yang bisa kita ubah dari masa lalu”, katanya. Fokus saja pada apa yang bisa dilakukan saat ini. Urusan nanti biar Tuhan yang atur. Beliau tidak tidur”, tambahnya sambil kuamati topeng apa yang sedang ia kenakan. 

Oh itu topeng kepasrahan. Nyatanya benar. Tuhan tidak tidur. Tapi lagi-lagi, Tuhan akan selalu menguji cinta hambanya. Selang 1 tahun setelah ayah berpulang karena serangan jantung. “Kamu ngga perlu nangis lagi”, kata ayah sembari meraih tangan ibu. Menyisakan sesak sekaligus kelegaan untukku. Dan di akhir hayat lelakinya, ia baru merasakan tulusnya dicintai setelah berpuluh tahun bersama. Bagiku saat itu, Ibulah juaranya. Namun lagi - lagi, yang kujumpai hanya derai air mata dan gemingan doa. Topeng apalagi ini? Oh, ini topeng keikhlasan.
Setelah 12 tahun berlalu, kini yang kulihat di wajahnya topeng yang ngga pernah berubah, belum bisa terdefinisi dan pernah kutemui sebelumnya. Antara sedih, khawatir, dan bahagia. Ya, topeng itu tampak jelas ia kenakan saat melepas putri kecilnya untuk mengabdikan hidup bersama pria pilihannya.

“Mendem jeru, mikul dhuwur.” Jadi azimat berduri yang selalu ia gaungkan jauh sebelum hatiku memahami dan menyepakatinya. Sarat makna dan pesan berharga sebagai bekal mengikatkan hati untuk membangun rumah tangga. 

 

Entah. Apakah itu yang bisa mengokohkan rasa sabar, tegar, dan ketulusannya selama ini. Namun setelah segala proses ini, yang terakhir kali kulihat dalam hari - harinya hanyalah topeng kerinduan. Rindu akan ketenangan, rindu akan kedamaian. 

Teruntuk wanita bertopeng dalam hidupku, terima kasih telah berjuang sejauh ini. Mulai sekarang, ibu tidak perlu lagi menahan kesedihan, menahan apapun yang ibu rasakan. Ibu sudah menang tanpa harus berperang, terhormat tanpa harus menjilat. Dan telah mewariskan nilai kehidupan yang sangat berharga untukku berproses hari ini dan nanti. 


Aku, sayang ibu. 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer