The Real BOSS #CreaStory#
“Aku dipecat ”, ujar Raisha rekan kerja Syifa.
Mereka sudah lama bekerja sebagai wartawan termuda majalah politik di Ibukota. Namun sayang, seiring perkembangan dan kecanggihan teknologi yang ada, kini eksistensinya lambat laun mulai memudar, bahkan bisa dikatakan mulai gulung tikar. Satu persatu karyawan disana mulai diistirahatkan. Tak terkecuali Syifa, yang nanti pada akhirnya juga akan menerima kado itu sebagai penutup akhir tahun 2012nya. Ia gugup dan khawatir. Juga sedih melihat kawan seperjuangannya ini tidak lagi bisa berkontribusi dalam satu tim yang solid, seperti yang mereka bangun.
Syifa berfikir, memutar otak, dan mencoba tenang. Ia temui pimpinannya. Ia menanyakan penyebab dan langkah yang telah diambil oleh bossnya itu. Namun, kecewa saja yang ia dapatkan. Ketika ia berusaha sekuat hati dan pikirannya untuk berargumentasi, ia malah disodori selembar cek bertuliskan tujuh puluh lima juta rupiah dan kartu nama dari salah seorang oknum parpol untuk membungkam medianya dalam sebuah kasus korupsi.
“Apa maksud Bapak?! “, geram dan melihat tegas boss yang ada di hadapannya.
“ Saya sudah tidak punya jalan keluar. Ini satu – satunya yang bisa menjadi sumber saham kita. Demi kelangsungan perusahaan ini, Fa! “, jawab si boss dengan wajah tertunduk.
Memang, Syifa adalah salah satu wartawan yang sangat berdedikasi penuh dalam media massa di Jakarta. Apalagi soal politik, ia sangat tegas dan transparan dalam memberitakan semua kasus yang ada.
” Kau masih terlalu muda untuk berada di posisi saya. Dan jangan sampai kau sepertiku ”,tambahnya.
Syifa berlalu dan meninggalkan bossnya tanpa menjawab. Ia sangat kecewa. Dibenaknya, ia tak habis pikir, mengapa boss yang selama ini ia anggap sebagai teladan, berani mengambil proyek hina itu, demi kelangsungan perusahaannya.
Ia mencari jalan keluar. Ia mencoba berdiskusi dan memilih menggerakkan rekan – rekannya untuk bersama – sama mencari jalan keluar. Tinggal sepuluh orang yang masih bertahan di perusahaan itu. Hari demi hari, mereka tetap beraktivitas seperti biasanya. Namun, tidak pada si pimpinannya. Ia terlihat lesu dan stres berat. Memikirkan tanggungjawab yang harus ia jalani. Seakan hidup segan, mati pun tak mau. Tak ada lagi hasratnya untuk bekerja dengan semangatnya seperti dulu. Banyak beban yang ia tanggung. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk sepakat dengan tawaran oknum tersebut.
Jam makan siang tiba. Si boss bermaksud untuk pergi menemui oknum tersebut. Namun, langkahya terhenti, ketika Ia melihat kesepuluh karyawannya masih sibuk dan bekerja keras membuat terobosan media mereka agar tetap diminati. Mereka bersikeras dan berusaha membuat sebuah web interaktif untuk diaplikasikan ke berbagai tampilan teknologi. Dibantu pula oleh Raisha, karyawan yang sudah ia pecat. Kini kesebelas anak buahnya bekerja keras tanpa mementingkan urusan perut maupun urusan pribadi mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanyanya tegas pada Syifa.
Seketika mereka berhenti dari aktivitasnya.
“ Kami hanya ingin membuktikan bahwa perusahaan ini masih hidup. Dan kami percaya hal itu!”, tegas Syifa.
“Iya..kami juga yakin hal itu.”, sambung beberapa karyawan lainnya.
“ Apa yang bisa kalian pertahankan dalam puing – puing kehancuran reputasi kita? ”, tanya si Boss sekali lagi.
Dengan penuh kesabaran dan tanpa mengurangi rasa hormatnya, Syifa menjawab, “ Karena ada kecintaan yang kami rasakan pada perusahaan ini. Dan adanya jalinan kekeluargaan di dalamnya, yang membuat kami tak ingin kehilangan perusahaan ini. Media yang bersih dan jujur. Dan kami mempercayakannya pada Anda, pemimpin tunggal perusahaan kami.” Ujar Syifa dengan mantap dan penuh ketegasan.
Mendengar kalimat itu, si Boss terdiam. Duduk dan tertunduk. Ia menangis dan malu akan pemikirannya selama ini. Dia pikir, mereka akan mengikuti instruksinya, untuk menerima diam - diam proyek hina itu. Namun justru ia tertampar dengan keberanian dan kepercayaan para anak buahnya. Di benaknya, pasti mereka akan menjadi pengikut yang baik. Ternyata tidak, justru merekalah yang bisa menjadi pelopor. Kali ini ia kalah. Orang yang dianggap muda baginya, justru mampu mengalahkan prinsipnya tanpa mengurangi rasa hormatnya.
“ Saya akan tetap menemuinya!” kata si boss.
Kemudian si boss bangkit dari duduknya. Dengan tetap memasang wajah yang tegas dan masih sama seperti ketika ia bertekad menerima tawaran dari oknum yang akan ia temui. Kali ini lebih garang. Sementara, si anak buahnya khawatir dan kecewa dengan keputusan si Boss. Mereka menangis, seakan usaha yang mereka lakukan sia – sia. Dan harapan tentang kelangsungan hidup perusahaan ini hanyalah sebuah impian kosong.
“ Sekeras itukah ego Anda?” tanya Syifa lirih.
“ Hei, bicara apa kau anak muda! “ jawab si boss dengan iringan tawa kecil. Kemudian ia melanjutkan perkatannya, “ Sudah saatnya aku pergi kesana. Menemuinya dan memulai percakapan. Dan yang terpenting adalah menolak tawaran itu. Karena aku tahu, aku memiliki pemimpin – pemimpin muda yang lebih berharga daripada tujuh puluh lima juta. Syifa.. mungkin, kursi di ruanganku sudah bosan untuk aku duduki dalam ambisi kolotku. Dan sudah saatnya, kau yang mengubah kebosanan kursi itu dengan dedikasimu ”.
Kata – kata itu membuat mereka sontak haru menangis bahagia. Karna mimpi itu akan terwujud, dan usaha mereka tak akan sia – sia. Kepercayaan akan mimpi yang sempat
terhalang oleh keyakinan, lambat laun mampu meluluhkan ketakutan. Dan kini, Syifa dipercayai memimpin rekan – rekannya sebagai seorang direktur.
********************************************************************************
Well, apa yang ada di benak Anda dari kisah diatas? Mungkinkah hal ini pernah Anda alami? Jika ia, berperan sebagai siapakah Anda? Tidak. Cukup jawab pertanyaan ini dalam diri Anda. Memang, sebagian besar dari diri kita menganggap boss adalah orang yang berpengaruh penting dalam sebuah perusahaan. Setiap keputusan, setiap pemikiran selalu bertumpu pada label “boss”. Namun, jika kita menyadari, Boss yang sebenarnya bukanlah mereka yang berjas mahal, membawa mobil mewah plus sopir atau bodyguardnya, meeting kemana – mana, tinggal tandatangan, dan lain sebagainya. Lantas, siapakah boss yang sebenarnya?
Dari kisah di atas, ada empat poin utama yang mencerminkan sikap seorang boss (pemimpin) yang digambarkan oleh tokoh Syifa, yaitu BOSS: Belief, Optimis, Selective, and Socialist. Keempat pilar utama ini, sudahlah kita pelajari dari awal pendidikan kita di bangku sekolah hingga kuliah. Alangkah bermanfaatnya jika kita mulai merangkai langkah – langkah kecil selagi muda untuk menjadi seorang BOSS yang sesungguhnya!:) Kepercayaan akan sebuah mimpi menjadi kunci dasarnya...:) dan kembangan potensi, nikmati ekspresi... Hai pemuda, sudah siapkah Anda menjadi BOSS??
Mereka sudah lama bekerja sebagai wartawan termuda majalah politik di Ibukota. Namun sayang, seiring perkembangan dan kecanggihan teknologi yang ada, kini eksistensinya lambat laun mulai memudar, bahkan bisa dikatakan mulai gulung tikar. Satu persatu karyawan disana mulai diistirahatkan. Tak terkecuali Syifa, yang nanti pada akhirnya juga akan menerima kado itu sebagai penutup akhir tahun 2012nya. Ia gugup dan khawatir. Juga sedih melihat kawan seperjuangannya ini tidak lagi bisa berkontribusi dalam satu tim yang solid, seperti yang mereka bangun.
Syifa berfikir, memutar otak, dan mencoba tenang. Ia temui pimpinannya. Ia menanyakan penyebab dan langkah yang telah diambil oleh bossnya itu. Namun, kecewa saja yang ia dapatkan. Ketika ia berusaha sekuat hati dan pikirannya untuk berargumentasi, ia malah disodori selembar cek bertuliskan tujuh puluh lima juta rupiah dan kartu nama dari salah seorang oknum parpol untuk membungkam medianya dalam sebuah kasus korupsi.
“Apa maksud Bapak?! “, geram dan melihat tegas boss yang ada di hadapannya.
“ Saya sudah tidak punya jalan keluar. Ini satu – satunya yang bisa menjadi sumber saham kita. Demi kelangsungan perusahaan ini, Fa! “, jawab si boss dengan wajah tertunduk.
Memang, Syifa adalah salah satu wartawan yang sangat berdedikasi penuh dalam media massa di Jakarta. Apalagi soal politik, ia sangat tegas dan transparan dalam memberitakan semua kasus yang ada.
” Kau masih terlalu muda untuk berada di posisi saya. Dan jangan sampai kau sepertiku ”,tambahnya.
Syifa berlalu dan meninggalkan bossnya tanpa menjawab. Ia sangat kecewa. Dibenaknya, ia tak habis pikir, mengapa boss yang selama ini ia anggap sebagai teladan, berani mengambil proyek hina itu, demi kelangsungan perusahaannya.
Ia mencari jalan keluar. Ia mencoba berdiskusi dan memilih menggerakkan rekan – rekannya untuk bersama – sama mencari jalan keluar. Tinggal sepuluh orang yang masih bertahan di perusahaan itu. Hari demi hari, mereka tetap beraktivitas seperti biasanya. Namun, tidak pada si pimpinannya. Ia terlihat lesu dan stres berat. Memikirkan tanggungjawab yang harus ia jalani. Seakan hidup segan, mati pun tak mau. Tak ada lagi hasratnya untuk bekerja dengan semangatnya seperti dulu. Banyak beban yang ia tanggung. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk sepakat dengan tawaran oknum tersebut.
Jam makan siang tiba. Si boss bermaksud untuk pergi menemui oknum tersebut. Namun, langkahya terhenti, ketika Ia melihat kesepuluh karyawannya masih sibuk dan bekerja keras membuat terobosan media mereka agar tetap diminati. Mereka bersikeras dan berusaha membuat sebuah web interaktif untuk diaplikasikan ke berbagai tampilan teknologi. Dibantu pula oleh Raisha, karyawan yang sudah ia pecat. Kini kesebelas anak buahnya bekerja keras tanpa mementingkan urusan perut maupun urusan pribadi mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanyanya tegas pada Syifa.
Seketika mereka berhenti dari aktivitasnya.
“ Kami hanya ingin membuktikan bahwa perusahaan ini masih hidup. Dan kami percaya hal itu!”, tegas Syifa.
“Iya..kami juga yakin hal itu.”, sambung beberapa karyawan lainnya.
“ Apa yang bisa kalian pertahankan dalam puing – puing kehancuran reputasi kita? ”, tanya si Boss sekali lagi.
Dengan penuh kesabaran dan tanpa mengurangi rasa hormatnya, Syifa menjawab, “ Karena ada kecintaan yang kami rasakan pada perusahaan ini. Dan adanya jalinan kekeluargaan di dalamnya, yang membuat kami tak ingin kehilangan perusahaan ini. Media yang bersih dan jujur. Dan kami mempercayakannya pada Anda, pemimpin tunggal perusahaan kami.” Ujar Syifa dengan mantap dan penuh ketegasan.
Mendengar kalimat itu, si Boss terdiam. Duduk dan tertunduk. Ia menangis dan malu akan pemikirannya selama ini. Dia pikir, mereka akan mengikuti instruksinya, untuk menerima diam - diam proyek hina itu. Namun justru ia tertampar dengan keberanian dan kepercayaan para anak buahnya. Di benaknya, pasti mereka akan menjadi pengikut yang baik. Ternyata tidak, justru merekalah yang bisa menjadi pelopor. Kali ini ia kalah. Orang yang dianggap muda baginya, justru mampu mengalahkan prinsipnya tanpa mengurangi rasa hormatnya.
“ Saya akan tetap menemuinya!” kata si boss.
Kemudian si boss bangkit dari duduknya. Dengan tetap memasang wajah yang tegas dan masih sama seperti ketika ia bertekad menerima tawaran dari oknum yang akan ia temui. Kali ini lebih garang. Sementara, si anak buahnya khawatir dan kecewa dengan keputusan si Boss. Mereka menangis, seakan usaha yang mereka lakukan sia – sia. Dan harapan tentang kelangsungan hidup perusahaan ini hanyalah sebuah impian kosong.
“ Sekeras itukah ego Anda?” tanya Syifa lirih.
“ Hei, bicara apa kau anak muda! “ jawab si boss dengan iringan tawa kecil. Kemudian ia melanjutkan perkatannya, “ Sudah saatnya aku pergi kesana. Menemuinya dan memulai percakapan. Dan yang terpenting adalah menolak tawaran itu. Karena aku tahu, aku memiliki pemimpin – pemimpin muda yang lebih berharga daripada tujuh puluh lima juta. Syifa.. mungkin, kursi di ruanganku sudah bosan untuk aku duduki dalam ambisi kolotku. Dan sudah saatnya, kau yang mengubah kebosanan kursi itu dengan dedikasimu ”.
Kata – kata itu membuat mereka sontak haru menangis bahagia. Karna mimpi itu akan terwujud, dan usaha mereka tak akan sia – sia. Kepercayaan akan mimpi yang sempat
terhalang oleh keyakinan, lambat laun mampu meluluhkan ketakutan. Dan kini, Syifa dipercayai memimpin rekan – rekannya sebagai seorang direktur.
********************************************************************************
Well, apa yang ada di benak Anda dari kisah diatas? Mungkinkah hal ini pernah Anda alami? Jika ia, berperan sebagai siapakah Anda? Tidak. Cukup jawab pertanyaan ini dalam diri Anda. Memang, sebagian besar dari diri kita menganggap boss adalah orang yang berpengaruh penting dalam sebuah perusahaan. Setiap keputusan, setiap pemikiran selalu bertumpu pada label “boss”. Namun, jika kita menyadari, Boss yang sebenarnya bukanlah mereka yang berjas mahal, membawa mobil mewah plus sopir atau bodyguardnya, meeting kemana – mana, tinggal tandatangan, dan lain sebagainya. Lantas, siapakah boss yang sebenarnya?
Dari kisah di atas, ada empat poin utama yang mencerminkan sikap seorang boss (pemimpin) yang digambarkan oleh tokoh Syifa, yaitu BOSS: Belief, Optimis, Selective, and Socialist. Keempat pilar utama ini, sudahlah kita pelajari dari awal pendidikan kita di bangku sekolah hingga kuliah. Alangkah bermanfaatnya jika kita mulai merangkai langkah – langkah kecil selagi muda untuk menjadi seorang BOSS yang sesungguhnya!:) Kepercayaan akan sebuah mimpi menjadi kunci dasarnya...:) dan kembangan potensi, nikmati ekspresi... Hai pemuda, sudah siapkah Anda menjadi BOSS??
Komentar
Posting Komentar